Perempuan Dalam Himpitan Pandemi:  Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak dan Keterbatasan Penanganan di Tengah COVID-19


catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang diterima oleh berbagai lembaga  masyarakat maupun institusi pemerintah yang tersebar di hampir semua Provinsi di Indonesia, serta  pengaduan langsung yang diterima oleh Komnas Perempuan melalui Unit Pengaduan Rujukan (UPR) maupun  melalui surel (email) resmi Komnas Perempuan, dalam kurun waktu satu tahun ke belakang. Tahun 2020 Komnas  perempuan mengirimkan 757 lembar formulir kepada Lembaga- lembaga mitranya (Komnas Perempuan) di  seluruh Indonesia dengan tingkat respon pengembalian 16%, yaitu 120 formulir yang ini sangat berdampak pada  data kasus yang dikompilasi. Tingkat respon pengembalian kuesioner tahun ini turun sekitar 50% dikarenakan  kondisi pandemik COVID-19 yang memaksa penyesuaian pada sistem kerja layanan dan memerlukan waktu  untuk beradaptasi. Selain itu, Komnas Perempuan melakukan inovasi diantaranya, penambahan pertanyaan  tentang proses hukum, kondisi dan keberlangsungan Lembaga layanan, serta pengumpulan data dalam format  online (bukan lagi manual). Semua itu memerlukan waktu untuk penyesuaian.  

Dampaknya adalah turunnya jumlah kasus yang dilaporkan pada tahun 2020 sebesar 31%. Namun demikian,  turunnya jumlah kasus tidak dapat dikatakan sebagai berkurangnya kasus kekerasan terhadap perempuan. Sejalan  dengan hasil survei Komnas Perempuan tentang dinamika KtP di masa pandemik, penurunan jumlah kasus  dikarenakan korban tidak berani melapor karena dekat dengan pelaku selama masa pandemik (PSBB); korban  cenderung mengadu pada keluarga atau diam; persoalan literasi teknologi; dan model layanan pengaduan yang  belum siap dengan kondisi pandemi (belum beradaptasi merubah pengaduan menjadi online). Sebagai contoh  di masa pandemik, pengadilan agama membatasi layanannya, serta membatasi proses persidangan.  

Jumlah kasus KTP sepanjang tahun 2020 sebesar 299.911 kasus. Data ini dihimpun dari 3 sumber yakni; [1]  Dari PN/Pengadilan Agama sejumlah 291.677 kasus. [2] dari Lembaga layanan mitra Komnas Perempuan  sejumlah 8.234 kasus; [3] dari Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR), satu unit yang sengaja dibentuk oleh  Komnas Perempuan, untuk menerima pengaduan langsung korban, sebanyak 2.389 kasus, dengan catatan  2.134 kasus merupakan kasus berbasis gender dan 255 kasus di antaranya adalah kasus tidak berbasis gender  atau memberikan informasi. Lembaga layanan non pemerintah atau Lembaga layanan dari masyarakat sipil  pada masa pandemi ini lebih banyak didatangi daripada lembaga layanan pemerintah. Hal ini disinyalir karena  lembaga layanan non pemerintah selama masa pandemi lebih bisa menyesuaikan diri menghadapi perubahan  sistem layanan yang ada, serta memiliki fleksibilitas waktu dalam pelayanan. 

Berdasarkan data-data yang terkumpul dari Lembaga layanan/formulir pendataan Komnas Perempuan sebanyak  8.234 kasus tersebut, jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol adalah di ranah pribadi atau  privat, yaitu KDRT dan Relasi Personal, yaitu sebanyak 79% (6.480 kasus). Diantaranya terdapat kekerasan  terhadap istri (KTI) menempati peringkat pertama 3.221 kasus (49%), disusul kekerasan dalam pacaran 1.309  kasus (20%) yang menempati posisi kedua. Posisi ketiga adalah kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak  954 kasus (14%), sisanya adalah kekerasan oleh mantan suami, mantan pacar, serta kekerasan terhadap pekerja  rumah tangga. Kekerasan di ranah pribadi ini mengalami pola yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya.

KtP berikutnya adalah di ranah komunitas/publik sebesar 21 % (1.731 kasus) dengan kasus paling menonjol  adalah kekerasan seksual sebesar 962 kasus (55%) yang terdiri dari dari pencabulan (166 kasus), perkosaan  (229 kasus), pelecehan seksual (181 kasus), persetubuhan sebanyak 5 kasus, dan sisanya adalah percobaan  perkosaan dan kekerasan seksual lain. Istilah pencabulan masih digunakan oleh Kepolisian dan Pengadilan  karena merupakan dasar hukum pasal-pasal dalam KUHP untuk menjerat pelaku. 

Berikutnya ktp di ranah dengan pelaku negara, kasus-kasus yang dilaporkan sejumlah 23 kasus (0.1 %). Data  berasal dari LSM sebanyak 20 kasus, WCC 2 kasus dan 1 kasus dari UPPA (unit di Kepolisian). Kekerasan di  ranah negara antara lain adalah kasus perempuan berhadapan dengan hukum (6 kasus), kasus kekerasan terkait  penggusuran 2 kasus, kasus kebijakan diskriminatif 2 kasus, kasus dalam konteks tahanan dan serupa tahanan  10 kasus serta 1 kasus dengan pelaku pejabat publik.

CATAHU 2021 menggambarkan beragam spektrum kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sepanjang  tahun 2020 dan terdapat kasus-kasus tertinggi dalam pola baru yang cukup ekstrim, diantaranya, meningkatnya  angka dispensasi pernikahan (perkawinan anak) sebesar 3 kali lipat yang tidak terpengaruh oleh situasi pandemi,  yaitu dari 23.126 kasus di tahun 2019, naik sebesar 64.211 kasus di tahun 2020. Demikian pula angka kasus  kekerasan berbasis gender siber (ruang online/daring) atau disingkat KBGS yang dilaporkan langsung ke  Komnas Perempuan yiatu dari 241 kasus pada tahun 2019 naik menjadi 940 kasus di tahun 2020. Hal yang  sama dari laporan Lembaga Layanan, pada tahun 2019 terdapat 126 kasus, di tahun 2020 naik menjadi 510  kasus. Meningkatnya angka kasus kekerasan berbasis gender di ruang online/daring (KBGO) sepatutnya menjadi  perhatian serius semua pihak. 

Namun ada hal yang berbeda dengan kasus inses. Meskipun jauh menurun di tahun 2020 yaitu sebesar 215  kasus, (tahun lalu 822 kasus), tetap perlu menjadi perhatian besar karena secara berturut-turut muncul sejak  tahun 2016 (sebelumnya tidak ada). Perhatian tersebut diperlukan melihat pelaku inses terbesar adalah ayah  kandung sebesar 165 orang. Kasus inses adalah kekerasan seksual yang berat, di mana korban akan mengalami  ketidakberdayaan karena harus berhadapan dengan ayah atau keluarga sendiri, kekhawatiran menyebabkan  perpecahan perkawinan/konflik, sehingga umumnya baru diketahui setelah inses berlangsung lama atau terjadi  kehamilan yang tidak dikehendaki. Kerentanan perempuan menjadi korban inses, akan semakin berlapis ketika  mereka berusia anak atau penyandang disabilitas yang memiliki hambatan untuk mengkomunikasikan apa yang  telah terjadi terhadapnya. 

Demikian pula dengan marital rape sebesar 57 kasus yang menurun dibanding tahun lalu yang mencapai 100  kasus. Kondisi ini boleh jadi disebabkan oleh pandemik Corona, dimana korban dalam lingkungan keluarga  sulit melaporkan dikarenakan kebijakan pembatasan sosial berskala besar menyebabkan korban dan pelaku  sama-sama berada di rumah, dan kesulitan melakukan pengaduan dan mengakses layanan. 

Catatan lainnya berdasarkan inovasi penambahan pertanyaan kuesioner, kasus-kasus dalam ranah pribadi  maupun komunitas yang berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan masih banyak yang diselesaikan  dengan jalur non hukum, termasuk oleh Lembaga layanan pendampingan hukum. Kedua, dalam hal sistem  rujukan yang diterapkan Komnas Perempuan, permintaan terbanyak dari korban adalah pentingnya bantuan  hukum, bantuan psikis, medis dan rumah aman. Ketiga, sumberdaya terendah di lembaga layanan adalah  psikolog, dan tenaga medis serta polisi perempuan. Ketiganya menjadi hal yang sangat penting bagi proses penanganan korban, yang ditemukan jumlahnya sangatlah kurang. Sementara dalam hal fasilitas, paling minim adalah ruang khusus pemeriksaan serta rumah aman. Keduanya sangat dibutuhkan korban yang membutuhkan  privasi dan penyelamatan diri dalam proses penanganan korban.

Tahun 2020 meskipun tercatat terjadi penurunan pengaduan korban ke berbagai Lembaga Layanan di masa  pandemik dengan sejumlah kendala sistem dan pembatasan sosial, Komnas Perempuan justru menerima  kenaikan pengaduan langsung yaitu sebesar 2.389 kasus dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 1.419 kasus.  Sehingga dapat dikatakan terdapat peningkatan pengaduan 970 kasus di tahun 2020.  

Hal ini menjadi catatan karena Komnas Perempuan bukan Lembaga yang memiliki kewenangan menangani  kasus, tetapi menjadi ekspektasi masyarakat sebagai Lembaga yang dipercaya untuk mengadukan kekerasan  yang dialaminya. Padahal, format pengaduan di Komnas Perempuan telah diganti dalam bentuk aplikasi form  online, yang justru disisi lain mempermudah korban yang melek teknologi langsung mengadu tanpa harus datang  ke kantor. Arus pengaduan melalui aplikasi form online ini menjadi pengalaman pertama Komnas Perempuan di  tahun 2020 di masa pandemik.


Komentar